Membendung Krisis Pangan: Revolusi Digital di Lahan Pertanian -->

Header Menu


Membendung Krisis Pangan: Revolusi Digital di Lahan Pertanian

Monday, 25 November 2024


Membendung Krisis Pangan: Revolusi Digital di Lahan Pertanian


Oleh : M Al Husaini

Praktisi Digital dan Transformasi AI Sektor Publik dan Tenaga Ahli DPR RI

Wartarepublik.id - Krisis pangan global menjadi ancaman yang menghantui dunia. Proyeksi Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menunjukkan bahwa dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada tahun 2050 untuk memenuhi kebutuhan populasi global yang diperkirakan mencapai 9,7 miliar jiwa. Namun, iklim yang kian tak menentu, lahan yang terus terdegradasi, dan sumber daya yang semakin langka menjadi rintangan yang tak mudah ditaklukkan. Seakan belum cukup, gejolak geopolitik global kian memperkeruh situasi, menciptakan badai yang mengancam ketahanan pangan dunia.

Perang Ukraina-Rusia, misalnya, telah meluluhlantakkan rantai pasokan gandum dan pupuk global. Sebelum perang dengan Rusia, Ukraina merupakan salah satu dari 5 besar pengekspor gandum dunia, menyuplai sekitar 10% dari pasar gandum global. Negara-negara di Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia, termasuk Indonesia, sangat bergantung pada impor gandum dari Ukraina. Ukraina juga merupakan produsen dan pengekspor pupuk yang penting, terutama pupuk nitrogen dan fosfor yang sangat berguna untuk meningkatkan hasil pertanian. Eropa, yang ekonominya salah satunya bergantung pada impor kedua komoditas tersebut, kini dihadapkan pada lonjakan harga pangan dan ketidakstabilan ekonomi. Dampaknya merembet jauh hingga ke benua Afrika, di mana banyak negara mengalami krisis pangan akibat terputusnya pasokan gandum. Sementara itu, di Timur Tengah, ketergantungan pada impor pangan dan situasi politik yang volatile menciptakan kerentanan tersendiri. Bahkan Inggris, pasca-Brexit, merasakan gangguan rantai pasokan yang berujung pada kelangkaan sejumlah komoditas pangan.
Kondisi geopolitik yang tidak stabil bak pedang bermata dua. Di satu sisi, konflik dan sanksi ekonomi menghambat distribusi pangan, meningkatkan biaya transportasi, dan memicu kelangkaan. Di sisi lain, ketidakpastian global memicu spekulasi dan penimbunan, yang pada gilirannya mendorong harga pangan melonjak tak terkendali. Inflasi meningkat, daya beli masyarakat tergerus, dan pertumbuhan ekonomi pun terancam.

Salah satu contoh nyata dampak gejolak geopolitik terhadap krisis pangan adalah yang terjadi di Inggris. Negara yang pernah menjadi pusat kekuasaan dunia itu kini bergulat dengan berbagai krisis yang mengancam ketahanan pangan warganya.
Data dari Office for National Statistics (ONS) menunjukkan bahwa inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Inggris mencapai 10,1% pada September 2023. Lonjakan harga pangan yang signifikan menyebabkan banyak warga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Laporan The Guardian menyebutkan bahwa sejumlah gudang makanan di Inggris mengalami peningkatan permintaan bantuan pangan yang signifikan dikarenakan krisis ini.

Survei National Institute of Economic and Social Research (NIESR) mengungkapkan bahwa hampir sepertiga rumah tangga di Inggris kesulitan membayar tagihan energi dan pangan pada awal tahun 2023. Banyak warga terpaksa memilih antara "makan atau panas", mengurangi konsumsi pangan demi mampu membayar tagihan energi yang melonjak.

Di tengah situasi yang genting ini, teknologi digital muncul sebagai secercah harapan. Revolusi digital di sektor pertanian, atau yang sering disebut Pertanian 4.0, menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), Internet of Things (IoT), big data, dan cloud computing menjadi pilar utama dalam membangun sistem pertanian modern yang tangguh dan berkelanjutan.
Laporan "McKinsey Technology Trends Outlook 2024" dan publikasi dari Wordline berjudul "Digital Trends 2025" memberikan gambaran komprehensif tentang perkembangan teknologi yang paling signifikan saat ini dan proyeksinya di masa depan. Dalam konteks pertanian, laporan dan infografis tersebut menyoroti bagaimana AI dan teknologi digital lainnya dapat berkontribusi secara substansial dalam menghadapi tantangan krisis pangan yang semakin mendesak.




AI: Kunci Transformasi Pertanian di Era Digital


AI bukanlah konsep futuristik lagi, tetapi sudah menjadi realita di lahan pertanian. Generative AI, misalnya, dapat memprediksi hasil panen dengan akurasi tinggi berdasarkan data cuaca, kondisi tanah, dan riwayat pertumbuhan tanaman. Applied AI memungkinkan petani untuk memantau dan mengendalikan hama dan penyakit secara real-time melalui sensor dan kamera terhubung, serta mengoptimalkan penggunaan air dengan sistem irigasi cerdas. Industrializing Machine Learning mempercepat pengembangan model prediksi harga komoditas dan rantai pasok pangan, membantu petani dalam mengambil keputusan strategis.
Di India, misalnya, startup bernama Fasal memanfaatkan AI dan IoT untuk membantu petani. Dengan teknologi ini, petani dapat memprediksi hasil panen, mengoptimalkan irigasi, dan mengendalikan hama dan penyakit secara lebih efektif. Hasilnya cukup memuaskan: peningkatan hasil panen hingga 30% dan penghematan air hingga 25% (Sumber: World Economic Forum).

Potensi AI di sektor pertanian pun kian menjanjikan. Laporan MarketsandMarkets memprediksi bahwa pasar AI di sektor pertanian global akan mencapai USD 4 miliar pada tahun 2026, didorong oleh peningkatan adopsi teknologi precision farming dan kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.




Perangkat Lunak dan Transformasi Digital
Perangkat lunak generasi mendatang semakin memudahkan petani dalam mengakses informasi dan mengelola usaha mereka. Aplikasi mobile menyediakan informasi pasar, prakiraan cuaca, dan tips budidaya tanaman secara langsung. Platform digital menghubungkan petani dengan konsumen melalui e-commerce, memotong perantara, dan meningkatkan pendapatan. Teknologi blockchain menjamin transparansi dan ketertelusuran produk pertanian, meningkatkan kepercayaan konsumen.



Lahan Pertanian yang "Cerdas" Berkat IoT
Internet of Things (IoT) menghubungkan dunia fisik dan digital di lahan pertanian. Sensor IoT yang tersebar di lahan dapat mengumpulkan data real-time tentang kondisi tanah, kelembaban, dan suhu, memungkinkan pengelolaan lahan dan tanaman yang lebih tepat. IoT ibarat mata dan telinga di lahan pertanian. Pemantauan ternak dengan sensor IoT memungkinkan deteksi dini penyakit, sementara drone berteknologi AI dan kamera canggih memudahkan identifikasi hama dan pemetaan 3D.
Di California, Amerika Serikat, peternakan anggur menggunakan sensor IoT untuk mengumpulkan data real-time mengenai kelembaban tanah, suhu, dan kondisi lingkungan lainnya. Data ini kemudian digunakan untuk mengoptimalkan irigasi dan pemupukan, meningkatkan kualitas anggur, dan menghemat air (Sumber: Forbes).
Laporan McKinsey menyoroti bahwa penerapan big data di sektor pertanian berpotensi meningkatkan produktivitas hingga 20% dan mengurangi biaya input hingga 15%. Dari laporan ini, artinya penerapan teknologi berdampak pada naiknya produktivitas dan turunnya biaya.

Cloud Computing: Membebaskan Potensi Kolaborasi dan Akses Data
Cloud computing merupakan penyediaan layanan komputasi termasuk penyimpanan, server, software, dan kecerdasan buatan di internet. Ini salah satunya yang menyebabkan berkurangnya penggunaan penyimpanan fisik seperti server, USB, dll. Cloud computing juga berdampak pada efisiensi tempat, biaya, dan bisa memaksimalkan produktivitas serta performa. Dengan layanan komputasi yang tersedia melalui internet, cloud computing memangkas kebutuhan akan penyimpanan fisik seperti server dan USB, sehingga menghemat ruang hingga 90% (Riverbed). UKM dapat menghemat biaya IT hingga 40% dan biaya energi hingga 30% (Salesforce, Microsoft) berkat skalabilitas dan efisiensi cloud. Tak hanya itu, produktivitas karyawan melonjak hingga 35% dengan aplikasi berbasis cloud yang mempercepat pengembangan aplikasi hingga 50% (Nucleus Research, IDC). Performa pun meningkat, dengan aplikasi berbasis cloud berjalan 40% lebih cepat dibandingkan aplikasi di server lokal (Akamai).
Cloud computing memfasilitasi kolaborasi dan akses informasi di sektor pertanian. 

The Farm Office, sebuah platform cloud-based di Australia, memungkinkan petani untuk mengelola data pertanian, melacak keuangan, dan berkolaborasi dengan konsultan dan penyedia layanan lainnya. Platform ini memberikan kemudahan bagi petani dalam mengakses informasi dan mengambil keputusan yang lebih baik (Sumber: The Farm Office).
ResearchAndMarkets memprediksi bahwa pasar cloud computing di sektor pertanian global akan mencapai USD 20 miliar pada tahun 2027, didorong oleh peningkatan adopsi teknologi smart farming dan kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi operasional.



Membangun Ketahanan Pangan: Teknologi, Etika, dan Kolaborasi
Di era disrupsi teknologi ini, pertanian tidak lagi identik dengan citra tradisional yang lekat dengan cangkul dan tenaga manusia. Revolusi digital telah merambah dunia agrikultur, menawarkan solusi inovatif untuk menghadapi tantangan krisis pangan global dan perubahan iklim. Pertanian 4.0, dengan dukungan kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan cloud computing, bukanlah sebuah fatamorgana masa depan, melainkan realitas yang kian terbentang di hadapan kita.




Teknologi Iklim: Menjawab Tantangan Perubahan Iklim
Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan global. Namun, teknologi berperan penting dalam memitigasi dampak negatif dan meningkatkan ketahanan pangan. Energi terbarukan, seperti tenaga surya, menjadi alternatif yang menjanjikan untuk mengurangi emisi karbon dan menekan biaya operasional. Di Kenya, perusahaan SunCulture menyediakan sistem irigasi tenaga surya kepada petani skala kecil, yang mampu meningkatkan hasil panen hingga 300% (Sumber: Reuters). International Renewable Energy Agency (IRENA) melaporkan bahwa penggunaan energi terbarukan di sektor pertanian dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 25% pada tahun 2050.
Precision farming, dengan dukungan sensor, AI, dan data analitik, mengoptimalkan penggunaan air dan pupuk. Di Amerika Serikat, John Deere mengembangkan traktor otonom yang dilengkapi dengan sensor dan AI untuk melakukan penanaman dan penyemprotan secara presisi, meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan (Sumber: John Deere). Precision Agriculture Research Group menyebutkan bahwa precision farming dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air hingga 40% dan mengurangi penggunaan pupuk hingga 20%.
Bioteknologi juga turut berkontribusi dalam menciptakan varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan dan hama. International Rice Research Institute (IRRI) mengembangkan varietas padi tahan kekeringan dan banjir yang membantu petani di Asia Tenggara mengatasi dampak perubahan iklim (Sumber: IRRI). FAO memperkirakan bahwa bioteknologi dapat meningkatkan produksi pangan global hingga 20% pada tahun 2050.


Menyongsong Era Pertanian 5.0: Kolaborasi Manusia dan Mesin
Pertanian masa depan akan ditandai oleh kolaborasi yang erat antara manusia dan mesin. Generasi Alpha, yang lahir di era digital, diproyeksikan menjadi pelopor dalam menerapkan teknologi immersive seperti metaverse di sektor pertanian. Di Jepang, Fujitsu mengembangkan platform metaverse untuk pertanian yang memungkinkan petani melakukan simulasi dan pelatihan virtual, berinteraksi dengan model 3D tanaman dan lingkungan, serta berkolaborasi dengan pakar pertanian di seluruh dunia (Sumber: Fujitsu). Ernst & Young memprediksi bahwa pasar teknologi immersive (VR/AR) di sektor pertanian global akan mencapai USD 17 miliar pada tahun 2026.



Etika dan Keberlanjutan: Fondasi Pertanian Digital
Di tengah kemajuan teknologi, etika dan keberlanjutan harus tetap menjadi prioritas. Penggunaan AI dan big data harus memperhatikan privasi data petani dan menghindari bias algoritma yang dapat merugikan petani kecil. The Future of Life Institute mengembangkan prinsip-prinsip etika untuk AI di sektor pertanian, yang menekankan pada transparansi, akuntabilitas, dan keadilan (Sumber: Future of Life Institute). Survei The World Bank menemukan bahwa 70% petani di negara berkembang khawatir tentang privasi data mereka dalam penggunaan teknologi digital.


Hyper-Consumption vs. Back to Basics: Menyeimbangkan Konsumsi dan Kelestarian Lingkungan
Di era digital yang serba terkoneksi, pola konsumsi masyarakat mengalami perubahan signifikan. Hyper-consumption, didorong oleh kemudahan akses dan promosi e-commerce, menjadi fenomena yang tak terelakkan. Namun, di balik gemerlapnya konsumerisme digital, tersimpan ancaman bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, menyeimbangkan konsumsi dengan kesadaran lingkungan menjadi krusial.
Gerakan back to basics menawarkan alternatif dengan menekankan pada konsumsi yang bijak dan berkelanjutan. Di sektor pertanian, kedua tren ini perlu diarahkan untuk mendorong konsumsi produk pertanian lokal yang berkelanjutan dan mengurangi pemborosan pangan.



Masyarakat Cashless: Memudahkan Transaksi, Mendorong Inklusi
Perkembangan teknologi mobile payment dan biometric authentication kian mempercepat laju masyarakat menuju era cashless. Di sektor pertanian, hal ini memudahkan transaksi antara petani dan konsumen, meningkatkan inklusi keuangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di pedesaan.
Contohnya, di India, platform fintech seperti Paytm dan PhonePe telah memfasilitasi transaksi digital di kalangan petani, memudahkan mereka dalam menerima pembayaran dan mengakses layanan keuangan. Sebuah studi oleh MicroSave Consulting menunjukkan bahwa penggunaan mobile payment dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 20%.



Pangan Canggih: Inovasi untuk Nutrisi dan Keberlanjutan
Revolusi digital tidak hanya terjadi di lahan pertanian, tetapi juga mengubah wajah industri pangan. Pangan canggih, atau novel food, muncul sebagai solusi untuk meningkatkan nilai gizi, keamanan pangan, dan keberlanjutan.

Protein Alternatif: Daging nabati berbasis kedelai, kacang polong, atau jamur, serta daging budidaya yang dikembangkan di laboratorium, menawarkan alternatif pangan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Di Indonesia, startup Green Rebel mengembangkan berbagai produk daging nabati yang lezat dan bergizi. Laporan Good Food Institute menyebutkan bahwa pasar daging nabati global diproyeksikan mencapai USD 140 miliar pada tahun 2029.

Pangan Terfortifikasi: Pangan yang ditambahkan zat gizi esensial, seperti vitamin, mineral, dan asam lemak omega-3, dapat membantu mengatasi masalah malnutrisi dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Program fortifikasi garam dengan yodium di Indonesia telah berhasil mengurangi prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).

Pangan Fungsional: Pangan yang mengandung komponen bioaktif yang memberikan manfaat kesehatan spesifik, seperti meningkatkan imunitas, menurunkan kolesterol, atau mencegah penyakit kronis. Contohnya, teh hijau dan yogurt probiotik semakin populer karena manfaatnya bagi kesehatan.



Pertanian Modern di Indonesia: Potret dan Proyeksi
Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi besar untuk mengembangkan pertanian modern. Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk mendorong adopsi teknologi di sektor pertanian, seperti program smart farming, penyediaan alsintan (alat dan mesin pertanian), dan pengembangan e-commerce pertanian.
Program smart farming menjadi salah satu andalan pemerintah dalam memodernisasi pertanian. Melalui penerapan teknologi digital, seperti sensor, IoT, dan AI, petani dapat mengoptimalkan proses budidaya, mulai dari pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, hingga panen.

Contoh nyata kesuksesan smart farming dapat dilihat di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Melalui program "Desa Digital", petani di desa tersebut menggunakan sensor IoT untuk memantau kelembaban tanah dan mengatur irigasi secara otomatis. Hasilnya, produktivitas padi meningkat hingga 15% dan penggunaan air lebih efisien. (Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika)



Alsintan Modern: Efisiensi dan Produktivitas
Penyediaan alsintan (alat dan mesin pertanian) modern juga menjadi fokus pemerintah dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Traktor, mesin panen, dan alat pengolah lahan modern membantu petani meningkatkan efisiensi kerja dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manual.
Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa penggunaan alsintan dapat meningkatkan produktivitas panen padi hingga 30% dan mengurangi kehilangan hasil panen hingga 10%. Selain itu, alsintan juga membantu mengurangi beban kerja petani dan meningkatkan keselamatan kerja.




E-commerce Pertanian: Membuka Akses Pasar dari Petani langsung ke Konsumen
E-commerce memiliki peran yang semakin penting dalam menghubungkan petani dengan konsumen. Di Indonesia, platform e-commerce TaniHub memotong perantara dan meningkatkan pendapatan petani, serta menyediakan layanan logistik dan cold chain untuk menjamin kualitas produk (Sumber: TaniHub). Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan bahwa pasar e-commerce pertanian di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai USD 8 miliar pada tahun 2025.

Sebuah studi oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa penggunaan e-commerce dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 25%. Selain itu, e-commerce juga membantu meningkatkan transparansi harga dan mengurangi fluktuasi harga di pasar.

Dalam Program Kerja Prioritas Kementerian Pertanian 2025, terdapat beberapa program prioritas yang sejalan dengan tren pertanian modern, antara lain:

Peningkatan Produksi Padi dan Jagung: Melalui optimalisasi lahan, cetak sawah, penyediaan alsintan (alat dan mesin pertanian modern), dan pupuk bersubsidi.



Peningkatan Produksi Susu dan Daging Sapi: Melalui penyediaan benih unggul dan peningkatan ketersediaan dairy cattle dan beef cattle.

Pertanian Modern Melalui Petani Milenial: Melalui pelatihan dan pengembangan kompetensi petani muda di bidang pertanian modern.



Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Revolusi digital di sektor pertanian menjanjikan transformasi yang signifikan, namun juga mengharuskan kita menyiapkan fondasi yang kokoh untuk menghadapi berbagai tantangan. Kesenjangan digital perkotaan dan pedesaan, keterampilan digital di pedesaan dan daerah yang minim akses internet, dan keamanan siber merupakan beberapa rintangan yang perlu diatasi agar pertanian Indonesia dapat beradaptasi dan berkembang di era digital ini.
Akses internet yang terbatas dan infrastruktur digital yang belum merata, terutama di pedesaan, menjadi penghambat utama dalam adopsi teknologi pertanian. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa tingkat penetrasi internet di pedesaan baru mencapai 77,02% pada tahun 2022, jauh tertinggal dibandingkan di perkotaan yang mencapai 85,15%. Keterbatasan akses ini menyulitkan petani untuk mengakses informasi, pelatihan, dan pasar online, serta menerapkan teknologi pertanian modern.




Digitalisasi Pertanian: Membekali Petani dengan Senjata Baru
Selain keterbatasan akses, keterampilan digital yang minim juga menjadi tantangan tersendiri. Generasi X, yang saat ini mendominasi sektor pertanian, umumnya belum terbiasa menggunakan teknologi digital. Di sisi lain, generasi Alpha, meskipun lahir di era digital, justru menunjukkan minat yang rendah terhadap sektor pertanian.

Survei dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa hanya 20% petani di Indonesia yang memiliki keterampilan digital yang memadai. Hal ini menunjukkan urgensi untuk meningkatkan literasi digital di kalangan petani, baik melalui pelatihan formal maupun informal.




Keamanan Siber: Melindungi Aset Digital Pertanian
Sistem pertanian modern yang terhubung dengan internet rentan terhadap serangan siber. Data pertanian, sistem kontrol, dan infrastruktur digital dapat menjadi target empuk bagi para hacker. Oleh karena itu, keamanan siber perlu diperhatikan secara serius untuk mencegah gangguan pada operasional pertanian dan melindungi aset digital petani.
Laporan National Cyber Security Centre (NCSC) Inggris menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling rentan terhadap serangan siber. Diperlukan upaya bersama dari pemerintah, sektor swasta, dan petani untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan dalam mengatasi ancaman siber.



Kesimpulan
Krisis pangan global bukan hanya mitos. Ini adalah realita yang mengancam ketahanan pangan dunia dan menuntut respons yang cerdas, komprehensif, dan berkelanjutan. Di tengah tantangan yang berat ini, revolusi digital di sektor pertanian menawarkan secercah harapan. Pertanian 4.0 menyonsong Pertanian 5.0, dengan segala inovasi teknologinya, bukan lagi sebuah mimpi, melainkan sebuah keniscayaan yang harus kita wujudkan bersama.
Teknologi memiliki potensi luar biasa untuk mentransformasi sektor pertanian. Kecerdasan buatan (AI) mampu memprediksi hasil panen dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Internet of Things (IoT) menghubungkan lahan pertanian dengan dunia digital, memungkinkan monitoring dan pengendalian yang lebih presisi. Big data memberikan wawasan berharga untuk pengambilan keputusan yang strategis. Cloud computing memfasilitasi kolaborasi dan akses informasi tanpa batas.

Namun, teknologi hanyalah sebuah alat. Kunci keberhasilan revolusi pertanian digital terletak pada manusia yang menjalankan dan bagaimana kita menerapkannya secara bijak, etis, dan berkelanjutan. Kita harus memastikan bahwa teknologi memberdayakan petani, bukan menyingkirkan mereka. Kita harus menjaga privasi data dan menghindari bias algoritma yang dapat merugikan petani kecil. Kita harus memastikan bahwa inovasi teknologi selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan.
Indonesia, sebagai negara agraris dengan potensi yang besar, memiliki peluang emas untuk menjadi pelopor dalam revolusi pertanian digital. Program-program pemerintah, seperti smart farming, penyediaan alsintan, dan pengembangan e-commerce pertanian, merupakan langkah strategis yang perlu terus didukung dan diperkuat. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci untuk mengakselerasi transformasi digital di sektor pertanian.

Ketahanan pangan adalah pilar utama kedaulatan bangsa. Dengan menerapkan teknologi secara bijak, mengedepankan etika dan keberlanjutan, serta memperkuat kolaborasi, Indonesia dapat mewujudkan sistem pangan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan demi mewujudkan cita-cita mulia "Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045".